Dirikan Ponpes Putri Al-Lathifiyah di Abad 20
Seiring dengan pesatnya perkembangan zaman maka semakin banyak pondok pesantren yang didirikan sebagai langkah penyebaran agama islam. Di Jombang pun demikian, banyak pondok pesantren didirikan untuk mencetak anak didik menjadi insan yang berakhlaqul karimah. Diantaranya adalah Pondok Pesantren Al-Latifiyah, Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawatimur.
(foto:dnaberita/zainularifin)
Kondisi saat ini Bangunan Pondok Pesantren Al-Lathifiyah I Bahrul Ulum Tambakberas Jombang Jawatimur.
Dari penelusuran dan berbagai informasi yang dihimpun DNABerita dilapangan, Ponpes Putri Al-Lathifiyah yang berlokasi sekitar 4 kilometer dari pusat kota Jombang itu merupakan pondok putri yang pertama kali berdiri dilingkungan Ponpes Bahrul Ulum. Keberadaan Pondok tersebut terjadi pada abad ke 20 yang didirikan oleh Alm Nyai Lathifah istri dari KH.Chasbullah yang atau ayah kandung dari KH.Abdul Wahab.
Awalnya, pondok tersebut hanya mempunyai santri sekitar 15 orang yang ikut belajar kepada Nyai Lathifah, santri tersebut terus dibimbingnya dirumah. Tak lama kemudian, KH. Abdul Wahab mempunyai inisiatif untuk membangun surau putri yang akan dijadikan tempat belajar sekaligus tempat tinggal santri.
Namun, pada tahun 1942 Nyai Latifah wafat dan kemudian kepemimpinan dan kiprahnya dilanjutkan oleh menantu beliau yakni Nyai Wahab. Beberapa kamar pun didirikan dan selanjutnya diberi nama Ponpes Putri Al-Lathifiyah dengan dicetuskanya nama Ponpes Bahrul ulum tambakberas oleh KH.Wahab.
Dalam perjalananya, Ponpes Putri Lathifiyah yang bertempat di sebelah utara Rumah Nyai Chasbullah itu kemudian menyelenggarakan pendidikan agama bagi warga. Karena mendapat perhatian dari masyarakat, pondok tersebut terus mengalami perkembangan dan peningkatan.
Sekitar tahun 1971 muncul berita duka, KH.Wahab wafat dan pondok tersebut dijalankan oleh Nyai Wahab bersama putri dan menantunya. Upaya penertiban administrasi kependidikan utamanya dibidang ketata usahaan mulai tampak pada tahun 1970-an. Struktur organisasi kepemimpinan mulai dibentuk. Selain tetap mengupayakan pengembangan fisik dan melestarikan model asli pendidikan islam. Pada tahun 1980 upaya pengembangan program kependidikan utamanya keterampilan keorganisasian dan kemasyarakatan bagi santri semakin berpeluang. Hal itu dibuktikan dengan adanya penekanan kembali pola sorogan dalam pembelajaran kitab, ditingkatkannya program dakwah kemasyarakatan, pemberdayaan santri khusus sebagai tenaga guru pembelajaran kitab serta forum musyawarah Bathsul Kitab.
Tahun itu juga muncul media penerbitan buletin 'Kresan' sebagai media pelatihan dunia kewartaan santri serta forum aswaja sebagai forum diskusi tentang masalah-masalah umum aktual kemasyarakatan terutama berkaitan dengan kewanitaan, hal itu tidak terlepas dengan peran serta Nyai Hj.Mundjidah wahab bersama KH.Imam Asyari hingga Ibu Nyai Wahab wafat.
Pada tahun 1994 Nyai Wahab berpulang dan kepengurusannya di serahkan kepada Nyai Hj.Mahfudloh Aly Ubaid dengan didampingi putra dan putri Nyai Wahab terutama Ibu Nisful Laila dan Agus Rokib. Pada tahun 1990 an itu telah mengalami peningkatan pesat. Dimunculkannya GBHPK (garis-garis besar haluan program kegiatan).
Tahun 1996 dimulai dengan pembangunan fisik yang diawali dari gedung aula diteruskan dengan pembangunan penambahan kamar-kamar dan perpustakaan. Kemudian pengembangan dalam bisang non fisik pun tak ketinggalan, terlihat menonjol adalah adanya penataan kembali model pelaksanaan pembelajaran klasikal Nahwu -0 Sharaf dan bentuk khusus Sorogan, sebagai praktiknya serta halaqah pembelajaran Al-Quran dengan pembangkitan daya tanggap santri, Karena terus mengalami perkembangan pernah terbentuk Pesantren tinggi Al-Lathifiyah yakni kelompok pengajian pasca SLTA.
Pada tahun 2005 Ponpes Putri Al-Lathifiyah mencoba memberikan pembelajaran yang lebih berkualitas bagi para santri melalui program pelaksanaan MADIN (Madrasah Diniyah). Melalui MADIN mampu merubah sistematika pendidikan yang ada sebelumnya mulai dari pengelompokan kelas yang didasarkan pada tingkat kemampuan santri serta lama pendidikan yang asalnya enam tahun karena mengacu pada tingkatan kelas sekolah formal kini hanya empat tahun dengan setia mata pelajaran mempunyai target kurikulum yang harus dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan demikian santri lebih dituntut untuk lebih disiplin dalam belajar.
Beberapa pendidikan yang ada di Ponpes tersebut saat ini diantaranya Pengajian Kitab Kuning dengan sistem sorogan maupun Wethon. Sistem penerapannya dengan cara individual, Klasikal dan Sentral. Selain itu Pendidikan Madrasah Diniyah, Madrasah Alquran dan Tilawah, Kursus bahasa Arab, inggris dan kaligrafi, Pendidikan ASWAJA dan beberapa kegiatan lainnya diantaranya Pesantren Kilat, Jamiyatul Quro, Pengkaderan Banjari dan Qosidah, Organisasi Daerah Latihan Kepemimpinan dan beberapa lainnya.
Hingga saat ini Pondok tersebut berpenghuni ratusan santri dan berbagai penjuru yang ada di Indonesia. Berbagai kegiatan santri pun juga jalan sesuai dengan kebutuhan dan kreatifitas santri. bahkan setiap satu tahun sekali diadakan temu alumni pondok tersebut.
Perkembangan saat ini, Pondok Putri Lathifiyah Bahrul Ulum menjadi dua bagian yakni Ponpes Putri Lathifiyah I dengan pengasuh Nyai Hj.Mahfudhoh dan Ponpes Putri Lathifiyah II dengan pengasuh Nyai Hj.Mudjidah Wahab.
Awalnya, pondok tersebut hanya mempunyai santri sekitar 15 orang yang ikut belajar kepada Nyai Lathifah, santri tersebut terus dibimbingnya dirumah. Tak lama kemudian, KH. Abdul Wahab mempunyai inisiatif untuk membangun surau putri yang akan dijadikan tempat belajar sekaligus tempat tinggal santri.
Namun, pada tahun 1942 Nyai Latifah wafat dan kemudian kepemimpinan dan kiprahnya dilanjutkan oleh menantu beliau yakni Nyai Wahab. Beberapa kamar pun didirikan dan selanjutnya diberi nama Ponpes Putri Al-Lathifiyah dengan dicetuskanya nama Ponpes Bahrul ulum tambakberas oleh KH.Wahab.
Dalam perjalananya, Ponpes Putri Lathifiyah yang bertempat di sebelah utara Rumah Nyai Chasbullah itu kemudian menyelenggarakan pendidikan agama bagi warga. Karena mendapat perhatian dari masyarakat, pondok tersebut terus mengalami perkembangan dan peningkatan.
Sekitar tahun 1971 muncul berita duka, KH.Wahab wafat dan pondok tersebut dijalankan oleh Nyai Wahab bersama putri dan menantunya. Upaya penertiban administrasi kependidikan utamanya dibidang ketata usahaan mulai tampak pada tahun 1970-an. Struktur organisasi kepemimpinan mulai dibentuk. Selain tetap mengupayakan pengembangan fisik dan melestarikan model asli pendidikan islam. Pada tahun 1980 upaya pengembangan program kependidikan utamanya keterampilan keorganisasian dan kemasyarakatan bagi santri semakin berpeluang. Hal itu dibuktikan dengan adanya penekanan kembali pola sorogan dalam pembelajaran kitab, ditingkatkannya program dakwah kemasyarakatan, pemberdayaan santri khusus sebagai tenaga guru pembelajaran kitab serta forum musyawarah Bathsul Kitab.
Tahun itu juga muncul media penerbitan buletin 'Kresan' sebagai media pelatihan dunia kewartaan santri serta forum aswaja sebagai forum diskusi tentang masalah-masalah umum aktual kemasyarakatan terutama berkaitan dengan kewanitaan, hal itu tidak terlepas dengan peran serta Nyai Hj.Mundjidah wahab bersama KH.Imam Asyari hingga Ibu Nyai Wahab wafat.
Pada tahun 1994 Nyai Wahab berpulang dan kepengurusannya di serahkan kepada Nyai Hj.Mahfudloh Aly Ubaid dengan didampingi putra dan putri Nyai Wahab terutama Ibu Nisful Laila dan Agus Rokib. Pada tahun 1990 an itu telah mengalami peningkatan pesat. Dimunculkannya GBHPK (garis-garis besar haluan program kegiatan).
Tahun 1996 dimulai dengan pembangunan fisik yang diawali dari gedung aula diteruskan dengan pembangunan penambahan kamar-kamar dan perpustakaan. Kemudian pengembangan dalam bisang non fisik pun tak ketinggalan, terlihat menonjol adalah adanya penataan kembali model pelaksanaan pembelajaran klasikal Nahwu -0 Sharaf dan bentuk khusus Sorogan, sebagai praktiknya serta halaqah pembelajaran Al-Quran dengan pembangkitan daya tanggap santri, Karena terus mengalami perkembangan pernah terbentuk Pesantren tinggi Al-Lathifiyah yakni kelompok pengajian pasca SLTA.
Pada tahun 2005 Ponpes Putri Al-Lathifiyah mencoba memberikan pembelajaran yang lebih berkualitas bagi para santri melalui program pelaksanaan MADIN (Madrasah Diniyah). Melalui MADIN mampu merubah sistematika pendidikan yang ada sebelumnya mulai dari pengelompokan kelas yang didasarkan pada tingkat kemampuan santri serta lama pendidikan yang asalnya enam tahun karena mengacu pada tingkatan kelas sekolah formal kini hanya empat tahun dengan setia mata pelajaran mempunyai target kurikulum yang harus dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan dengan demikian santri lebih dituntut untuk lebih disiplin dalam belajar.
Beberapa pendidikan yang ada di Ponpes tersebut saat ini diantaranya Pengajian Kitab Kuning dengan sistem sorogan maupun Wethon. Sistem penerapannya dengan cara individual, Klasikal dan Sentral. Selain itu Pendidikan Madrasah Diniyah, Madrasah Alquran dan Tilawah, Kursus bahasa Arab, inggris dan kaligrafi, Pendidikan ASWAJA dan beberapa kegiatan lainnya diantaranya Pesantren Kilat, Jamiyatul Quro, Pengkaderan Banjari dan Qosidah, Organisasi Daerah Latihan Kepemimpinan dan beberapa lainnya.
Hingga saat ini Pondok tersebut berpenghuni ratusan santri dan berbagai penjuru yang ada di Indonesia. Berbagai kegiatan santri pun juga jalan sesuai dengan kebutuhan dan kreatifitas santri. bahkan setiap satu tahun sekali diadakan temu alumni pondok tersebut.
Perkembangan saat ini, Pondok Putri Lathifiyah Bahrul Ulum menjadi dua bagian yakni Ponpes Putri Lathifiyah I dengan pengasuh Nyai Hj.Mahfudhoh dan Ponpes Putri Lathifiyah II dengan pengasuh Nyai Hj.Mudjidah Wahab.
5
komentar
Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah merupakan pondok putri yang pertama kali berdiri di lingkungan Pondok Pesantren Bahrul Ulum. Keberadaannya terjadi pada awal abad ke-20 yang tidak lepas dari Nyai Lathifah, Ibu kandung K.H. Abdul Wahab. Semasa Nyai Lathifah aktif membantu Kyai Hasbullah dalam menangani Pondok Pesantren Tambakberas, masyarakat putri di sekitar desa Tambakberas yang berjumlah sekitar kurang lebih 15 orang ikut belajar kepada Nyai Lathifah. Maka dibimbingnya masyarakat putri tersebut di rumah beliau. Kemudian untuk menghimpun belajar santri di rumah beliau, maka K.H. Abdul Wahab mempunyai inisiatif untuk membangun surau putri yang dijadikan tempat belajar sekaligus tempat tinggal santri. Dari sinilah, masyarakat menyebut mereka sebagai santri putri Tambakberas. Setelah wafatnya Kyai Hasbullah, tongkat kepemimpinan pesantren Tambakberas dilanjutkan oleh Kyai Wahab.
Sekitar tahun 1942 Nyai Lathifah wafat, kemudian kiprahnya diganti oleh menantu baliau yakni Nyai Wahab. Beliau membangun beberapa kamar. Tidak lama kemudian surau tersebut diganti dengan Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah dengan dicetuskannya nama Pesantren Tambakberas menjadi Pondok Pesantren Bahrul Ulum oleh K.H. Wahab, maka Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyahpun menjadi Pondok Pesantren Putri AL Lathifiyyah Bahrul Ulum. Lokasi pondok ini bertempat di sebelah utara rumah Kyai Hasbullah dan Kyai Wahab.
Setelah meninggalnya Kyai Wahab pada tahun 1971, tugas kepengasuhan dan kependidikan terus dilaksanakan oleh Nyai Wahab dengan dibantu beberapa putra-putri, menantu serta keponakan Kyai Wahab, terutama dalam melakukan tugas-tugas pendidikan dan pembelajaran. Yang menonjol diantara mereka adalah sang putra, K.H. M. Nadjib Wahab dan Nyai Hj.Mundjidah Wahab serta sang menantu, K.H.Imam Asy’ari Muhsin.
Upaya penertiban administrasi kependidikan, utamanya di bidang ketata usahaan mulai tampak sejak dekade 1970 an ini yang dibarengi dengan upaya penertiban organisasi kepengurusan harian, sehingga pada dekade ini mulai nampak dirasakan adanya pendidikan keorganisasian bagi santri secara teoritis maupun praktis. Untuk mendukung upaya ini, staf kepembimbingan resmi mulai menjadi komponen struktur organisasi kepengurusan harian.
Selain tetap mengupayakan pengembangan fisik dan melestarikan model asli pendidikan pesantren, pada dasawarsa 1980 an upaya pengembangan program kependidikan, utamanya keterampilan keorganisasian dan kemasyarakatan bagi santri semakin mendapatkan peluang. Hal ini dibuktikan dengan penekanan kembali pada pola sorogan dalam pembelajaran kitab, ditingkatkannya program dakwah kemasyarakatan, pemberdayaan santri khusus sebagai tenaga guru pembelajaran kitab serta forum musyawarah bahtsul kitab. Selain itu mulai adanya penerbitan bulletin “Kresan” sebagai media pelatihan dunia kewartaan dan kewartawanan santri serta forum “aswaja” sebagai sebuah forum diskusi tentang masalah-masalah umum aktual kemasyarakatan, terutama yang berkaitan dengan kewanitaan. Hal demikian tidak lepas dari peran dwitunggal K.H.Imam Asy’ari Muhsin dan Nyai Hj.Mundjidah Wahab hingga wafatnya sang ibu, Nyai Wahab.
Pada dasawarsa 1990-an program kemasyarakatan melalui pendidikan keorganisasian dan demokratisasi berpola pikir serta penyaluran aspirasi telah mencapai peningkatan dengan adanya Konferensi periodik (frendik) sejak 1993 sebagai forum tertinggi di tingkat kepengurusan guna merumuskan seluruh kebijakan pokok beserta arahnya melalui Garis-Garis Besar Program Kegiatan (GBHPK) yang dilanjutkan dengan pemilihan ketua umum pengurus harian, yang diikuti oleh seluruh persona pengurus dan beberapa santri tertentu, sebagai perwakilan seluruh santri, serta alumni tertentu. Tentu saja program pendidikan dan pembelajaran pun mendapat peluang pengembangannya dengan upaya meningkatkan penertiban kehidupan bermasyarakat di kalangan santri, utamanya pelaksanaan seluruh program kegiatan beserta pola kontrolnya sesuai amanat frendik dalam GBHPK dan hasil rapat kerja.
Salah satu bentuk upaya pengembangan program non fisik yang tampak menonjol adalah adanya penataan kembali model pelaksanaan pembelajaran klasikal materi Nahwu-Sharaf dan bentuk khusus sorogan, sebagai pratiknya serta halaqah pembelajaran baca alqur’an dengan pembangkitan daya tangpap santri. Termasuk bentuk upaya bidang ini pada tahun 1995 pernah dibentuk suatu kelompok pengajian bagi santri pasca SLTA yang kemudian disebut dengan PESANTREN TINGGI AL LATHIFIYYAH, dan sejak 1998 telah dibentuk kelompok santri aktif berbahasa Inggris, utamanya di lingkungan ribath tempat huni mereka. Berdasarkan beberapa pertimbangan Pengasuh dan Pembimbing pada tahun 2005 Lathifiyyah mencoba memberikan pembelajaran yang lebih berkualitas bagi para Santri dengan adanya pelaksanaan program Madrasah Diniyyah Al Lathifiyyah I yang disebut dengan MADIN. MADIN menyebabkan perubahan pada sebagian besar sistematika pendidikan yang ada sebelumnya, mulai dari pengelompokkan kelas yang didasarkan pada tingkat kemampuan Santri serta lama pendidikan yang asalnya enam tahun karna mengacu pada tingkatan kelas sekolah formal ( 3 tahun pertama tingkat SLTP dan 3 tahun berikutnya tingkat SLTA) kini hanya empat tahun. Setiap mata pelajaran mempunyai tarjet kurikulum yang harus dicapai sesuai dengan waktu yang telah ditentukan, dengan begitu Santri dituntut untuk lebih disiplin dalam belajar.
Pembangunan bidang fisik juga telah mencapai peningkatan sejak dasawarsa 1980 an di bawah kepengasuhan Nyai Wahab yang dibantu penuh oleh K.H.Imam Asy’ari Muhsin, Nyai Hj.Mundjidah Wahab dan K.H. M.Hasib Wahab, dan mencapai pesatnya pada daswarsa 1990 an dalam tanggungjawab kepengasuhan Nyai Hj.Machfudhoh Wahab setelah wafatnya sang ibu, Nyai Wahab, tahun 1994.
Adapun pendidikan dan kegiatan Pondok Pesantren Putri Al Lathifiyyah antara lain :
Pondok Pesantren BAHRUL ULUM, Tambakberas, Jombang Jawa Timur
Dari Ulama sampai Politikus
Pondok Pesantren Bahrul Ulum (PPBU) didirikan oleh KH. Abdus Salam seorang keturunan raja Majapahit, pada tahun 1838 M di desa Tambakberas, 5 km arah utara kota Jombang Jawa Timur. Banyak cerita yang mengisahkan kenapa KH. Abdus Salam seorang keturunan ningrat, bisa sampai ke desa kecil yang kala itu masih berupa hutan belantara penuh dengan binatang buas dan dikenal sebagai daerah angker.Dari Ulama sampai Politikus
KH. Abdus Salam meninggalkan kampung halamannya menuju Tambakberas untuk bersembunyi menghindari kejaran tentara Belanda. Bersama pengikutnya ia kemudian membangun perkampungan santri dengan mendirikan sebuah langgar (mushalla) dan tempat pondokan sementara buat 25 orang pengikutnya. Karena itu, pondok pesantren itu juga dikenal pondok selawe (dua puluh lima).
Perkembangan pondok pesantren ini mulai menonjol saat kepemimpinan pesantren dipegang oleh KH. Abdul Wahab Hasbullah, cicit KH. Abdus Salam. Setelah kembali dari belajar di Mekkah, ia segera melakukan revitalisasi piondok pesantren. Ia yang pertama kali mendirikan madrasah yang diberi nama Madrasah Mubdil Fan. Ia juga membentuk kelompok diskusi Taswirul Afkar dan mendirikan organisasi Nahdlatul Wathon yang kemudian dideklarasikan sebagai organisasi keagamaan dengan nama Nahdlatul Ulama (NU). Deklarasi itu ia lakukan bersama dengan KH. Hasyim Asy’ari dan ulama lainnya pada tahun 1926.
Nama Bahrul Ulum itu tidak muncul saat KH. Abdus Salam mengasuh pesantren tersebut. Nama itu justru berasal dari KH. Abdul Wahab Hasbullah. Ia memberikan nama resmi pesantren pada tahun 1967. Beberapa tahun kemudian pendiri NU ini pulang ke rahmatullah pada tanggal 29 Desember 1971.
Mulai tahun 1987 kepemimpinan pondok pesantren dipegang secara kolektif oleh Dewan Pengasuh yang diketuai oleh KH. M. Sholeh Abdul Hamid. Mereka juga mendirikan Yayasan Pondok Pesantren Bahrul Ulum yang diketuai oleh KH. Ahmad Fatih Abd. Rohim. Para kiai yang mengasuh PP Bahrul Ulum itu diantaranya, KH. M. sholeh Abdul Hamid, KH. Amanullah, KH. Hasib Abd. Wahab,
Dibawah kepemimpinan KH. M. Sholeh, PPBU mengalami perkembangan sangat pesat. Hal ini dapat dilihat dengan semakin membludaknya santri yang belajar di pondok pesantren yang telah banyak menghasilkan ulama dan politisi.KH. Abdurrahman Wahid mantan presiden ke 4 RI juga alumni pesantren yang sering kedatangan tamu dari pemerintah pusat ini. Santri yang belajar di PPBU tidak hanya datang dari daerah Jombang saja tapi juga dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan juga dari Brunei Darussalam dan Malaysia.
Sampai tahun 2003 ini PPBU dihuni hampir 10.000 santri. Untuk menampung santri, pesantren membuat asrama dalam komplek-komplek pemukiman yang terpisah-pisah, tetapi tetap dibawah pengawasan pondok induk. Dan setiap kompek diawasi dan diasuh oleh seorang kiai. Komplek-komplek tersebut meliputi; komplek pondok induk Al-Muhajirin I, II, III dan IV, Al-Muhajiraat I, II, III dan IV, As-Sa’idiyah putra, As-Sa’idiyah putri, Al-Muhibbin I dan II, Ar-Roudloh, Al-Ghozali, Al-Hikmah , Al-wahabiyah, Al-Fathimiyah, Al-Lathifiyah I dan II dan an-Najiyah.
Seiring dengan perkembangan pesantren yang semakin pesat, pengelolaan pesantren dilakukan secara profesional. Kegiatan pesantren sehari-hari tidak langsung ditangani oelh pengasuh. Tetapi diserahkan kepada pengurus Bahrul Ulum yang terdiri dari para Gus dan Ning (putra kiai), ustadz, ustadzah dan santri senior. Untuk operasionalnya dibentuk bidang-bidang dengan distribusi tugas secara teratur.
Selain itu, santri juga bisa mengikuti berbagai organisasi penunjuang dalam lingkungan pesantren seperti, Jam’iyyah Qurro’ wa; Huffadh (JQH), Forum Kajian Islam (FKI), Corp Dakwah Santri Bahrul Ulum (CDS BU), Koppontren Bahrul Ulum, OSIS ada disetiap sekolah dan madrasah., Keluarga Pelajar Madrasah Bahrul Ulum, Organisasi Daerah (ORDA) organisasi ini merupakan wadah santri menurut asal daerah santri, Senat Mahasiswa Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (SM STT).
Kegiatan belajar santri PPBU dalam kesehariannya sangat variatif dan diklasifikasikan menurut jenjang pendidikannya masing-masing. Namun secara umum pengajian kitab salaf (literatur klasik) sangat menonjol. Disamping itu, santri juga diwajibkan mengikuti Madrasah Al-qur’an dan Madrasah Diniyah. Prgram takrorud durus (jam wajib belajar) waktunya ditetapkan oleh pengurus harian Bahrul Ulum.
PPBU juga menyelenggarakan kegiatan sosial seperti, sunatan massal, bakti sosial, penyuluhan masyarakat, pengiriman dai ke daerah-daerah tertinggal, panti anak yatim dan lain sebagainya.
Sebagai kaderisasi pesantren, agar kelangsungan pendidikan agama tetap berjalan dan tidak mengalami kemunduiran apalagi sampai pesantren mengalami bubar, para pengasuh mengirimkan putra-putri belajar ke pesantren lain juga menimba ilmu di perguruan tinggi, seperti putra KH. M. Sholeh ada yang dikirim belajar ke pesantren Lirboyo Kediri.
Penyelenggaraan Pendidikan
Pondok Pesantren Bahrul Ulum secara umum menyelenggarakan pendidikan formal dan non formal. Untuk pendidikan formal mengacu pada kuriklum DEPAG dan DIKNAS. Adapun yang mengikuti kurikulum DEPAG, meliputi MI (Madrasah Ibtidaiyah) Bahrul Ulum, MTsN (Madrasah Tsanawiyah Negeri) Bahrul Ulum, MTs (Madrasah Tsanawiyah) Bahrul Ulum, MAN (Madrasah Aliyah Negeri) Bahrul Ulum dan Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) Bahrul Ulum. Sedangkan pendidikan fromal yang mengikuti kurikulum DIKNAS meliputi, Sekolah Menengah Pertama (SMP) Bahrul Ulum, Sekolah Menengah Umum (SMU) Bahrul Ulum dan Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Tehnik Bahrul Ulum.
Walaupun kegiatan pendidikan formal sangat padat, namun pengajian dan pendidikan kitab salaf tetap sangat dipentingkan. Dan sistem tradisional seperti sorogan, bandongan , wkton, takhassus, takror, tahfidh dan tadarrus tetap dipertahankan. Adapun jenjang pendidikan salaf meliputi TK, Madrasah Ibtidaiyah, Madrasah Ibtidaiyah Program Khusus, Madrasah Diniyah, Madrasah Al-Qur’an, Madrasah Mu’allimin / Mu’allimat Atas dan Madrasah I’dadiyah Lil Jami’ah.
Selain itu PPBU dalam ikut mengembangkan minat dan bakat para santri juga memberikan kegiatan ekstra kurikuler, seperti majalah pesantren Menara, Marching Band, komputer, menjahit, elektronika, seni hadrah, seni qasidah, tata busana, tata boga, bela diri, pramuka, palang merah remaja (PMR), unit kesehatan sekolah (UKS) dan karya ilmiyah remaja. Disamping itu, pesantren juga menyelenggarakan pelatihan dan kegiatan ekstra keagamaan seperti pelatihan jurnalistik, bahasa asing, penelitian, kepemimpinan, kepustakaan, keorganisasian, advokasi masyarakat, kewirausahaan, manasik haji, seni baca Al-Qur’an , khutbah, pidato, bahtsul masail, diba’iyyah dan lain sebagainya. (depag/mus)